Cerminan Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan
data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and
Education yang dikeluarkan UNESCO yang diluncurkan di New York, indeks
pembangunan pendidikan atau education
development index (EDI) untuk Indonesia berdasarkan data tahun 2008 adalah
0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di
dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di
atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80. Indonesia masih tertinggal
dari Brunei Darussalam (peringkat ke-34) dan Malaysia (peringkat ke-65).
Pendidikan bagi penyandang Disabilitas
Pada dunia pendidikan, siswa terbagi menjadi
2 keadaan yaitu siswa normal dan siswa penyandang disabilitas. Salah satu
penghambat meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia yaitu kurangnya
perhatian pendidikan terhadap penyandang disabilitas tersebut. Penyandang disabilitas
terbagi menjadi beberapa karakteristik, salah satunya yaitu tunarungu.
Tunarungu yaitu mereka yang mengalami gangguan pada organ pendengarannya yang
mengakibatkan ketidakmampuan mendengar, sehingga secara pedagogis diperlukan
pelayanan pendidikan dan bimbingan secara khusus. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 234,2 juta jiwa dengan
jumlah penyandang tunarungu sebesar 2.962.500 jiwa. Tunarungu
sama halnya dengan penyandang disabilitas yang
lain yaitu merupakan warga negara Indonesia yang berhak memperoleh pendidikan.
Pemerintah telah menjamin hal itu pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1, yaitu setiap
warga negara berhak atas pendidikan. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga dijelaskan bahwa setiap anak penyandang disabilitas
merupakan kelompok anak yang membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus.
Perhatian terhadap penyandang disabilitas tidak hanya dijamin oelh negara saja,
bahkan dalam agama Islam, Alloh tegas banyak memberikan kita perintah untuk
menyantuni mereka. Dalam dalam Qs. An-Nuur ayat 61 misalnya, byang artinya: “Tidak
ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula)
bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri…”. Kemudian dalam QS.‘Abasa
ayat 1-10, yang intinya Rosululloh SAW telah mendapat teguran dari Alloh SWT
karena telah mengabaikan Abdullah Ibnu Umi Ma’tum (seorang tunanetra) yang
hendak belajar Islam kepada beliau, saat beliau sedang berdakwah kepada petinggi-petinggi
kaum Quraisy di rumahnya. Rosululloh SAW menolak kehadirannya dengan bermuka
masam dan berpaling tidak menanggapi keinginannnya untuk meminta pengajaran dan
pengetahuan tentang agama Islam kepada beliau. Setelah mendapatkan teguran dari
Alloh SWT, Rosulullah SAW pun mencari Abdullah Ibnu Umi Ma’tum kemudian memberikan
dan pengajaran tentang keislaman.
Hal ini
menandakan bahwa kita tidak boleh mencela penyandang disabilitas dan harus
memberikan pelayanan terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka. Selama ini banyak
masalah yang dihadapi oleh penyandang disabilitas diantaranya masalah
kesehatan, pekerjaan, perhatian dan partisipasi masyarakat, serta pendidikan. Pendidikan
anak tunarungu di Indonesia masih mengalami ketertinggalan, diakibatkan oleh
rendahnya pengetahuan dan wacana guru yang tidak memahami kondisi dan kebutuhan
anak tuna rungu.
Penyandang Tunarungu di SLB Semarang yang Berprestasi di Bidang Tata Kecantikan
(Dokumentasi ketika penulis mengikuti Future Leader Summit 2013)
Pendidikan
Keterampilan Vokasional produktif melalui model Sheltered Workshop
Pendidikan vokasional
merupakan model pendidikan yang cocok bagi penyandang tunarungu, karena berorientasi
pada kesiapan kerja lulusannya. Pendidikan keterampilan vokasional di SLB di
Indonesia masih kurang berkembang dengan baik. Keterbatasan sarana dan
prasarana serta sumber daya bahan baku yang sulit didapatkan karena tidak
berasal dari daerah tersebut, merupakan beberapa hal penyebabnya. Sehingga
lulusan SLB, sulit mendapatkan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Penulis
memberikan solusi adanya pendidikan keterampilan vokasional produktif melalui
model sheltered workshop berbasis
potensi lokal daerah bagi penyandang tunarungu. Harapannya penyandang tunarungu
dapat mempunyai keterampilan vokasional dengan memanfaatkan potensi
sumber daya lokal daerahnya. Sehingga berdampak pada lulusan SLB yang
unggul, mandiri, dan dapat membantu pemerintah
(pemerataan pendidikan, mengurangi angka pengangguran, dan kemiskinan).
Kelebihan
pendidikan vokasional yaitu peserta didik secara langsung dapat mengembangkan
keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan
dihadapinya. Konsep pengembangan model pembelajaran
vokasional produktif dikembangkan oleh Pollway (1993), dan Clark (1990) secara
hirarkis untuk penyandang disabilitas, dan berdasarkan pada functional teory, yang menurut Brembeck
(1973), dalam penelitian peserta didik diposisikan sebagai variabel dependent dan bukan sebagai subjek yang
mengarahkan langsung pada perlakuan (treatment).
Sedang bagi guru diposisikan sebagai variabel dependent, dimana mereka dapat mengontrol dan mempengaruhi kegiatan
secara langsung. Dengan konsep demikian, maka diharapkan terciptanya model
pembelajaran yang efektif dan adaptable
bagi penyandang disabilitas khusunya tunarungu.
Sheltered workshop dapat diartikan kerja/pelatihan
khusus. Konsep sheltered workshop
yaitu dimana subjek diberikan materi keterampilan, lalu diberikan pelatihan
langsung oleh pelaku usaha terkait, dan kemudian didukung oleh lembaga
pendukung usaha. Diharapkan subjek mempunyai keterampilan sesuai dunia kerja
yang dibutuhkan dan produknya dapat langsung dipasarkan. Konsep pendidikan berbasis keunggulan lokal, diartikan
sebagai proses pendidikan yang didesain sedemikian rupa, sehingga outcome yang dihasilkan memiliki
kemampuan yang cukup, bukan hanya mengidentifikasi, melainkan memanfaatkan
keunggulan lokal untuk kepentingan kemajuan diri, daerah, maupun masyarakat
secara luas.
Pendidikan
keterampilan vokasional produktif bagi penyandang tunarungu dapat integrasikan
dalam pembelajaran keterampilan di SLB. Selama di SLB, mereka hanya mendapatkan
sedikit keterampilan dan beberapa tidak dapat disesuaikan dengan keadaan tempat
tinggal mereka yaitu terkait kebutuhan bahan baku serta sarana dan prasarana.
Potensi lokal daerah adalah salah satu faktor penentu keberlanjutan dari
pendidikan keterampilan tersebut. Sebab setelah pasca SLB mereka diharapkan
mampu mengolah dan memasarkan potensi daerahnya yang dapat dijadikan sebagai output akhir pendidikan keterampilan.
Jadi pendidikan keterampilan yang ada di SLB haruslah diintegrasikan dan
disesuaikan dengan potensi daerahnya, sehingga sumber bahan baku serta sarana
dan prasarana yang dibutuhkan mudah didapatkan. Kendati demikian kemampuan
dasar yang telah diperoleh penyandang tunarungu seperti kemampuan mengukur,
pengenalan bentuk, pengenalan warna, membedakan halus dan kasar, dapat
dijadikan modal awal dalam pendidikan keterampilan ini. Selain mendapatkan
peragaan keterampilan secara langsung (demonstrasi) dan langkah-langkah kerja
visual (somatik), mereka juga mendapatkan informasi dan dukungan dalam promosi,
pameran. dalam pemasaran hasil karya. Perlu perubahan dalam pendidikan
keterampilan di SLB bagi tunarungu, beralih dari tuntutan penguasaan teknologi
menjadi pemanfaatan potensi lokal daerah. Misalnya di SLB mereka dilatih oleh
guru dalam pencucian mobil, dan setelah lulus diharapkan dapat mencari pekerjaan
atau menciptakan lapangan kerja sesuai
kompetensi tersebut. Namun dalam kenyataannya tidak semua penyandang
tunarungu berasal dari golongan mampu dan bisa membeli peralatan pencucian
mobil, dan peralatannyapun sulit diperoleh. Dalam hal mencari pekerjaan tidak
semua orang bersedia menerima tenaga kerja dengan kondisi tunarungu. Hal inilah
yang menjadi permasalahan mendasar pendidikan keterampilan di SLB kurang
menghasilkan output yang maksimal.
Sehingga harus diubah kedalam pemanfaatan potensi lokal daerah. Misalnya saja
di dareah Adipala, Cilacap, Jawa Tengah yang masyarakatnya kebanyakan penghasil
batu bata merah. Di SLB di sekitar Cilacap, pendidikan keterampilan
vokasionalnya untuk siswa tunarungu haruslah dilatih bagaimana cara membuat
adonan batu bata, mencetaknya, sampai memasarkannya. Dengan konsep sheltered workshop (pelatihan khusus)
siswa pertama kali diberikan materi mengenai
keterampilan pengolahan batu bata oleh guru, lalu diberikan pelatihan langsung
oleh pelaku usaha batu bata (misal masyarakat dibantu oleh guru), dan kemudian
didukung oleh lembaga pendukung usaha batu bata tersebut (missal truk usaha
pengangkut batu bata).
Implementasi Terhadap Pembelajaran
Implementasi
pendidikan keterampilan vokasional produktif melalui model sheltered workshop berbasis potensi lokal daerah ini, yang perlu
dilakukan pertama kali adalah pendekatan program. Menurut Winarno (2000),
Pendekatan program adalah
cara kita didalam
mengembangkan program atau bahan materi. Mengingat anak tunarungu memiliki
keterbatasan pendengaran, maka guru harus merancang pembelajaran seinovatif
mungkin sehingga, siswa dapat menerima pelajaran dengan lebih mudah.
Penyusunan
bahan materi pelajaran perlu mendasarkan pada :
a. Pendekatan
kesiapan kerja
Guru harus menyusun setiap
materi supaya dapat langsung dipraktekkan di kehidupan nyata,
yang dijelaskan
dengan demonstrasi dan somatik agar tidak menimbulkan pemikiran yang abstrak bagi siswa, karena anak
tunarungu memiliki keterbatasan dalam pendengaran. Dengan demikian penyusunan
materi pelajaran hendaknya mendekati pada kehidupan sehari-hari, dan potensi
daerahnya sehingga berorientasi pada kesiapan kerja.
b. Pendekatan
multi dimensional
Pembentukan totalitas 3 ranah kemampuan meliputi
1. Kognitif
berupa konsep, fakta, data, teori, dan pengertian.
2. Afektif berupa nilai, sikap, norma, dan moral.
3. Psikomotor
berupa tata cara, prosedur, aturan, dan perilaku.
Ketiga
ranah tersebut harus diterapkan secara seimbang, agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai secara optimal. Sehingga siswa
tunarungu dapat menerapkan dengan baik keterampilan yang mereka peroleh dari
SLB untuk daerahnya.
Implikasi Terhadap Penyandang Tunarungu
Implikasi
terhadap penyandang tunarungu dalam pendidikan keterampilan vokasional produktif
melalui model sheltered workshop berbasis
potensi lokal daerah ini dapat
dijadikan sebagai strategi pendidikan keterampilan vokasional dalam tahapan
belajar konkret untuk penyandang tunarungu. Mengingat pendidikan vokasional
yang ada belum merambah kepada potensi lokal daerah sehingga menyebabkan sarana
dan prasarana serta bahan baku sulit didapatkan, maka perlu adanya pendidikan
keterampilan vokasional melalui model sheltered
workshop berbasis potensi lokal daerah untuk mengasilkan lulusan tunarungu SLB yang siap kerja, mandiri, dapat
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, dan memanfaatkan keunggulan lokal untuk
kepentingan kemajuan diri, daerah, maupun masyarakat secara luas.
Kesimpulan
Model sheltered workshop berbasis potensi lokal
daerah ini sangat efektif dan efisian untuk memenuhi kebutuhan penyandang
tunarungu di SLB dalam meningkatkan
keterampilan vokasional produktif. Pendekatan dalam
pembelajaran ditekankan pada metode demonstrasi dan somatik yang menekankan
pada gerak visual, sehingga mudah dipahami dan diikuti subyek. Kemampuan
dasar penyandang tunarungu seperti kemampuan mengukur, pengenalan bentuk,
pengenalan warna, membedakan halus dan kasar, dapat dijadikan modal awal dalam
pendidikan keterampilan.
Saran
Perlunya
lembaga pendukung kegiatan dalam menyediakan modal kerja atau dalam
promosi-promosi, pameran dan pemasaran produk. Selain itu, pemerintah daerah
perlu memberikan pembinaan dan dukungan modal ataupun fasilitas usaha yang
dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan atau berusaha secara mandiri
dan berkelanjutan.
Tiga Penyandang Disabilitas di SLB Semarang yang Berprestasi di Bidang Menyanyi
(Dokumentasi ketika penulis mengikuti Future Leader Summit 2013)
Karya: Dhany Pangestu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar