Aku adalah anak laki-laki dari keluarga sederhana, bahkan mungkin sangat sederhana di sebuah desa tepi laut di Jawa Tengah. Ya keluargaku memang sederhana, terdiri dari 4 orang yaitu bapak, ibu, Aku, dan adik perempuanku. Saat ini Aku sedang menempuh pendidikan dijenjang kuliah awal semester enam di perguruan tinggi negeri di Indonesia, adikku duduk dibangku SMP kelas tujuh. Bapakku entah dimana, aku dan keluargaku tidak mengetahui keberadaan dan kabarnya. Info terakhir yang kami terima beliau berada di Kalimantan Timur bekerja mencari burung diajak oleh temannya. Ada kabar lagi kalau beliau bekerja sebagai buruh bangunan. Entahlah apapun yang dikerjakan bapak disana dan dimanapun beliau berada, kami tetap mendoakannya. Bapak sudah pergi meninggalkan keluarga semenjak Aku duduk di bangku SMA kelas sepuluh.
Ibu
saat ini bekerja sebagai buruh pencetak batu bata di tempat tetangga. Walaupun
sudah tua, ibu tetap tahan dengan panasnya sengatan matahari di bumi tropis
ini, bahkan dari terbit sampai terbenam untuk mencari sesuap rezeki yang halal
bagi Aku dan adikku. Seribu cetakkan batu bata dihargai sekitar Rp 23.000,00. Dan
untuk mendapatkan seribu cetakan batu bata itu, ibu membutuhkan waktu yang
tidak sebentar, yaitu sekitar lima jam. Apabila tidak ada yang membutuhkan,
biasanya beliau menjadi buruh cuci baju di tempat saudara. Inilah
sepenggal kisah hidupku meraih mimpi, ketika ilmu tak lagi mengenal harta
benda. Perjuangan anak desa untuk memeluk mimpinya.
Flash
back ke 14 tahun silam. Pagi
itu di rumahku terdengar suara tangisan anak kelas satu SD. Ya itu suara
rengekkanku yang tidak mau berangkat sekolah.
“Aku
ga mau berangkat sekolah Pak, kalau tidak ditemani ibu,” rengek manjaku.
“Jangan
manja! Ayo, sini bapak pakaikan bajunya! Kalau tidak mau bapak pukul lho!”
suara keras bapak menggelora sampai ke rumah tetangga.
Sembari
menjinjing seragam merah putih, bapak mendekatiku dengan wajah kesal. Seketika
itu Aku langsung lari menghindar dari tangan besar bapak.
“Plek!”
tangan bapak mendekap tubuhku, memakaikan baju putih itu pada tubuh mungil tak
berdaya yang sedang menangis manja. Aku berusaha untuk lepas darinya, dan akhirnya
berhasil. Namun selang beberapa detik, bapak menangkapku kembali dan
melemparkanku ke lubang kotak berukuran 2x2m depan rumah yang berisikan air
keruh hujan tadi malam. Namun sebelum Aku dilempar terjadi perlawanan bapak dan
ibu.
“Bruk!”
ibu tersengkur jatuh ke lantai bersamaan dengan dagangan nasi rames yang sedang
beliau bungkus untuk dijual, dan “Byur!” Aku dilempar bapak, tangisankupun
meledak seketika.
“Pak,
yang sabar ya…anak kita masih kecil…jangan terlalu keras padanya.” rintihan
suara ibu kepada bapak yang lembut berbalut air mata.
“Ga
usah ikut campur kamu! urusi saja daganganmu itu!” Ancam bapak dengan
melesatkan tangan besarnya ke leher ibu dan berusaha menceciknya. Kali ini bom
tangisan kedua meledak dari ibuku. Sesak nafas dan desah tangis mengguyur gubug
kami.
“Tolong…tolong…”
Sang wanita pahlawanku itu ketakutan.
“Mun..
jangan lakukan itu, itu istrimu!” tetangga samping rumahku memanggil nama bapak
dan langsung menolong Ibu dari cekikannya. Ibu tersungkur untuk kedua kalinya
ke lantai rumahku yang hanya cor-coran itu. Sungguh iba melihatnya.
Begitulah
bapak dan ibuku sering bertengkar semenjak Aku masih kecil. Banyak hal yang
menjadi bahan adu mulut mereka, karena kenakalanku waktu kecil dan pastinya
masalah utama yaitu ekonomi keluarga. Bahkan saat Aku kelas tiga SD, Ibu hampir
mendapatkan goresan parang tajam pada lehernya karena bertengkar dengan bapak.
Peristiwa yang pedih ketika mencoba mengenangnya. Terbentuklah pribadi ini yang
pendiam, pemalu dan tidak percaya diri karena keluarga seperti itu. Sudahlah,
waktu kian berjalan lebih cepat, Aku dan adikku besar di tengah keluarga ini,
sampai sekarang.
***
Bumi
berotasi memberikan kesempatan bagiku untuk mengenyam pendidikan di Kalimantan
Selatan. Semester satu di kelas satu SD telah Aku lewati, Bapak memutuskan
untuk pergi ke Kalimantan mengadu nasib disana. Fikirnya mungkin rezeki
keluarga kita berada di pulau terbesar ketiga di dunia itu. Beliau membawa ibu
dan Aku. Ya Aku melanjutkan semester dua kelas satu SD di Kalimantan Selatan di
sebuah SD kecil yang menghadirkan siswa-siswa dari berbagai suku di negeri ini,
karena memang mereka juga pendatang. SD ini jauh dari tempat tinggal kami, 3km
berjalan kaki. Menyusuri hutan, bertemu babi liar, dan banjir di jalan itu hal
yang biasa. Biaya sekolahnya murah hanya Rp 100,00 lain halnya ketika Aku
sekolah di Jawa yang relatif mahal menurut penilaian keluargaku, mungkin bagi
keluarga yang lain sebaliknya. Kamipun berjuang disana.
“Teng…teng…teng…”
bunyi lonceng sekolah tua itu memecah keheningan siswa. Waktu istirahat tiba,
dan siswapun berebut keluar kelas dari lantai kayu tersebut.
“Rambutan…rambutan…mainan…mainan…”
itu suara Ibu ketika menjajakan dagangannya di depan SD tempatku bersekolah. Ya
ibu berjualan sembari menemaniku.
Setiap
hari ibu menggendongku sejauh 3km untuk sampai di sekolah, sambil membawa
barang dagangannya. Berangkat pagi sudah kebiasaan kami. Mungkin Aku akan
tinggal menetap di Pulau Borneo ini sampai waktu yang tak pernah kuduga
sebelumnya. Ternyata setelah 6 bulan berlalu, Bapak memutuskan untuk pulang
lagi Jawa. Alasannya tidak betah. Akhirnya kelas dua SD Aku lanjutkan lagi di
Jawa.
***
Gemuruh
ombak laut yang hanya beberapa kilometer dari rumahku semakin memberontak.
Sampailah Aku ke masa SMA. Bapak sudah pergi ke Kalimantan, adik sudah duduk di
kelas II SD. Kata orang, masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Bagiku
sedih dan senang bercampur aduk, bersyukur masih bisa melanjutkan sekolah, di
jenjang inipun Aku bisa meraih juara kelas dari kelas X sampai kelulusan. Tak
hanya belajar, Aku berjualan makanan, snack,
air mineral, kaos kaki, pulsa, dan aksesoris semuanya Aku jajakan. Pernah saat
pelajaran BK di kelas XI, sang ibu guru mendekatiku yang memang duduk di
belakang.
“dek,
kamu jualan apa? Ibu boleh lihat?” Ibu guru BK rupanya penasaran.
“Iya
bu, ini jualan makanan, m inuman, nasi, snack,
kalau kaos kaki Rp 10.000 dapat 3 bu, dan lain-lain bu.” jika ibu berminat
silahkan dipilih bu.
“Oh
iya ini ada kaoskaki, kebetulan Ibu sedang butuh, Ibu mau beli” ibu langsung
memasukkan tangannya ke dalam plastik tempat kaos kaki dan merogoh selembar
uang.
“Sekalian
Ibu mau tawarkan kepada guru-guru yang lain, siapa tahu ada yang tertarik juga”
imbuh Ibu guru BK tersebut.
Selang
beberapa hari kemudian di SMAku ternyata ada pengumuman bahwa akan ada razia
kaos kaki yang pendek bagi para siswa dan guru. Seketika itu dagangan kaos
kakiku laris manis diserbu siswa, guru, dan karyawan. Alhamdulillah ya Rab.
Sembari berdagang untuk menopang ekonomi keluarga, Aku tak lupa belajar, hingga
predikat juara kelas paralelpun Aku dapatkan.
***
Matahari
semakin hafal dengan jalur revolusinya. Tak terasa waktu tiga tahun di SMA
berjalan begitu cepatnya. Melihat kondisi ekonomi yang memang tidak memungkinkan
untuk melanjutkan kuliah, fikiranku terbawa untuk segera mendapatkan pekerjaan
dan tidak kuliah. Namun, ternyata Alloh menghendaki hal lain, melalui perantara
Pak guruku di SMA. Beliau membantu Aku untuk mendaftar beasiswa S-1 Bidikmisi
(beasiswa dari pemerintah untuk siswa dengan keluarga tidak mampu dan
berprestasi. Beasiswa ini memberikan kesempatan untuk kuliah sampai semester 8
yang tidak dipungut biaya dan setiap bulannya mendapatkan uang saku).
“Dhan,
kamu harus kuliah, percuma kepintaranmu jika kamu tidak kuliah. Apapun
jurusannya nanti, yang penting kamu kuliah dulu. Ini ada beasiswa Bidikmisi
namanya, jika kamu diterima, kamu akan kuliah dan dapat gelar sarjana, bahkan
mendapatkan uang saku setiap bulannya yang lebih dari cukup untuk mahasiswa”.
Bujuk Pak guru kepadaku yang saat itu Aku masih sangat polos.
Doa
dan usaha adalah senjataku, Ibu, dan pak guruku untuk hal yang satu ini. Tanpa
didampingi Bapak, yang memang sudah berada di Kalimantan. Setelah gugur di
jalur SNMPTN undangan, atas kehendakNya Aku berhasil lolos di SNMPTN tulis.
“Kring..kring…”
bunyi HP jadulku membangunkanku seketika masih duduk beberapa menit setelah
sholat maghrib, langsung Aku tekan tombol warna hijau.
“Dhany,
selamat kamu lolos SNMPTN tulis jalur Bidikmisi,” saking senangnya pak guru
langsung memulai pembicaraan via telepon itu tanpa salam.
“Alhamdulillahhirobbil
‘alamin…” sahutku berdecak kagum akan kebesaranNya. “Terimakasih ya Alloh,
Engkau telah memberikanku kesempatan untuk meraih cita-citaku.” Langsung Aku sujud
syukur tertunduk dan mengagungkan nama Alloh.
***
Kini
Aku bukanlah siswa lagi, tetapi mahasiswa yang dipercaya sebagai agen perubahan
bangsaku. Sungguh semua keterbatasan itu adalah salah satu motivasiku untuk
bisa meraih sukses, untuk bisa memperbaiki ekonomi keluarga, menjadikan
keluargaku sejahtera serta berbagi kebahagiaan terhadap sesama. Dilihat dari
latar belakang ekonomi keluargaku yang sangat sederhana itu, secara manusiawi
memang rasanya tidak mungkin jika Aku saat ini bisa menempuh pendidikan
dijenjang kuliah. Bahkan masa laluku membentuk pribadi ini berbeda dari yang
lainnya. Aku sangat bersyukur seorang anak desa dari keluarga sederhana bisa
merasakan pendidikan di bangku kuliah. Aku harus pandai bersyukur dan
memanfaatkan kesempatan emas ini sebagai jembatan untuk meraih mimpiku yang
lain. Aku harus bisa menjadi mahasiswa yang luar biasa, berprestasi,
bermanfaat, menginspirasi, dan dapat membahagiakan keluarga serta banyak orang.
Salah satu caranya Aku harus mengembangkan potensi yang diberikanNya kepadaku.
Berawal dari sebuah organisasi keilmiahan tingkat fakultas yang Aku ikuti sejak
semester satu. Panggilan hati adalah alasanku mengapa memilih bergabung dengan
organisasi ini. Selain bisa belajar softskill mengenai keilmiahan, bahasa,
kepenulisan, dan pengabdian masyarakat. Secara tersirat Aku juga banyak belajar
dari teman-teman organisasi ini bagaimana menghormati dan menghargai orang
lain, berperilaku, kedisiplinan, kerja tim, cara menghadapi masalah, saling
peduli, dan hal bermanfaat lainnya yang tdak bisa Aku dapatkan di dalam kelas.
Lewat
organisasi inilah Dia memberikanku jalan menjadi mahasiswa yang luar biasa dan
bisa meraih citaku seperti yang pernah Aku tuliskan. Mendapatkan prestasi lomba
kepenulisan ilmiah di tingkat fakultas, universitas, provinsi, nasional, dan
internasional serta Akupun bisa naik pesawat menjelajahi bumi nusantara yang
indah, bahkan sampai ke negeri gajah putih Thailand dan negeri sakura Jepang.
Aku bisa berbagi pengalaman dan inspirasi dengan teman-teman, mendapatkan
banyak relasi, dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat yang tidak bisa aku
dapatkan di kelas kuliahku. Semoga perjuanganku ini bisa menginspirasi dan
memotivasi banyak orang.
“Dream…dream
big…feel it, believe it, achieve it, whatever your dreams are…go for it, you
will inspire others…”.
Karya: Dhany Pangestu
Subhanallah.. Luar Biasa mas Dhany.. :')
BalasHapusBegitu menginspirasi mas... :D
Manusia memiliki mimpi..
Ada yg mengejar dan mewujudkannya..
Ada yg mundur dan membuangnya..
Adapula yang diam dan hanya menyimpannya sepanjang sisa hidupnya..
Mas dhany berhasil menempati yang pertama.. :)
Terimakasih, Sangat bermanfaat.
sama2 dk kamu juga harus kejar terus mimpimu, setiap manusia pasti punya mimpi masing2, apapun mimpimu gapai terus jangan hanya tertulis dikertas tetapi wujudkanlah jangan mudah putus asa ketika gagal. mas juga sering gagal, tetapi ambilah pelajaran dibalik kegagalan itu karena sesungguhnya banyak hikmah yg terkandung di dalamnya supaya kita bisa memperbaiki di kesempatan yg lain :)
Hapus